Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Papua: Solusi Atau Somasi….???

- Editorial Team

Sabtu, 11 Oktober 2025 - 12:27 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Prof. IDRUS AL-HAMID. SUARA MINOR POROS INTIM_.

Pembentukan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Papua kembali memunculkan perdebatan publik: apakah lembaga ini merupakan solusi untuk mempercepat pembangunan di Tanah Papua, atau justru somasi terhadap efektivitas pemerintahan daerah yang telah diberi kewenangan luas melalui kebijakan Otonomi Khusus (Otsus).

Secara normatif, Komite ini digagas sebagai jembatan koordinatif antara pemerintah pusat dan enam provinsi di kawasan Papua Raya. Tujuan idealnya ialah memastikan seluruh program pembangunan berjalan terpadu, terukur, dan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat Papua. Namun dalam praktik tata kelola pemerintahan, muncul pertanyaan kritis: sejauh mana peran Komite ini sejalan atau justru bertentangan dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dasar Hukum dan Prinsip Pemerintahan Daerah

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bersama dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, telah memberikan landasan kuat bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dua regulasi ini menegaskan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk:

  1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan sesuai asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 9 UU 23/2014);
  2. Menetapkan kebijakan pembangunan daerah berdasarkan prioritas lokal, potensi wilayah, serta kebutuhan masyarakat (Pasal 258 UU 23/2014);
  3. Mengelola dana otonomi khusus untuk mempercepat peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kesejahteraan sosial, dan pemerataan ekonomi di Tanah Papua (Pasal 34A UU 2/2021).

Dengan demikian, sistem hukum nasional telah menempatkan pemerintah daerah sebagai aktor utama pembangunan, sedangkan pemerintah pusat berperan melakukan pembinaan, pengawasan, dan fasilitasi kebijakan strategis.

Potensi Tumpang Tindih dan Dampak Kelembagaan

Apabila Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Papua menjalankan fungsi yang menyerupai lembaga pelaksana kebijakan atau pengambil keputusan pembangunan daerah, maka akan muncul tumpang tindih kewenangan dan konsekuensi kelembagaan sebagai berikut:

  1. Reduksi Otonomi Daerah. Kewenangan konstitusional pemerintah daerah menjadi tereduksi, karena keputusan strategis dapat diambil di luar mekanisme pemerintahan daerah. Hal ini bertentangan dengan semangat self-government yang menjadi inti otonomi.
  2. Dualisme Koordinasi dan Akuntabilitas.. Adanya dua poros koordinasi (Komite dan Pemerintah Daerah) menimbulkan kebingungan administratif, terutama dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan. Rantai komando yang tidak jelas dapat menghambat efektivitas program.
  3. Menurunnya Kepercayaan Publik terhadap Daerah. Masyarakat dapat menafsirkan bahwa kehadiran Komite mencerminkan ketidakpercayaan pemerintah pusat terhadap kapasitas daerah. Ini berpotensi memperlemah legitimasi sosial dan politik kepala daerah serta memperdalam kesenjangan kepercayaan antara rakyat dan pemerintah.
  4. Inefisiensi Anggaran dan Overlapping Program, Jika perencanaan pembangunan dilakukan paralel antara Komite dan Pemerintah Daerah tanpa harmonisasi yang jelas, maka akan timbul duplikasi anggaran, pemborosan birokrasi, dan rendahnya efisiensi penggunaan dana Otsus maupun APBN.
  5. Pelemahan Sistem Pengawasan Demokratis.
    Komite yang berada di luar struktur pemerintahan daerah tidak memiliki hubungan langsung dengan DPRD sebagai lembaga pengawasan politik daerah. Akibatnya, akuntabilitas publik terhadap penggunaan dana pembangunan bisa menjadi lemah dan tidak transparan.

Menempatkan Komite sebagai Instrumen Sinergi, Bukan Intervensi

Kehadiran Komite seharusnya tidak dimaknai sebagai struktur baru yang menggantikan fungsi pemerintahan daerah, tetapi sebagai instrumen sinergi lintas-provinsi untuk mempercepat konektivitas pembangunan Papua Raya.
Fungsi idealnya dapat difokuskan pada: Koordinasi data dan informasi pembangunan, Konsolidasi kebijakan fiskal dan penganggaran lintas sektor, serta Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN) di Tanah Papua. Dengan demikian, Komite menjadi mitra strategis yang memperkuat tata kelola pembangunan, bukan memperlemah kewenangan daerah.

Penutup: Antara Solusi dan Somasi

Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Papua hanya akan menjadi solusi jika kehadirannya memperkuat kapasitas pemerintah daerah, mendorong koordinasi kebijakan, dan memastikan setiap kebijakan pembangunan berpihak pada masyarakat Papua. Namun, jika ia beroperasi di luar prinsip otonomi dan mengaburkan batas kewenangan antara pusat dan daerah, maka keberadaannya justru berpotensi menjadi somasi kelembagaan yang memperlemah sistem pemerintahan daerah dan menimbulkan ketegangan baru dalam tata kelola pembangunan Papua.

Tulisan sebagaimana tersebut diatas, sebagai bahagian dari konstribusi akademisi yang peduli terhadap berbagai dinamika Masyarakat di enam Provinsi Papua Raya tersebut di atas__.

Suara Minor Si Hitam Manis Pelipur Lara di timur Nusantara__.


Eksplorasi konten lain dari mediatimor.com

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berita Terkait

Dewan Gereja Papua Adalah Rumah, Honai, Perahu Milik Bangsa Papua dan Tidak Dipengaruhi Dengan Pilgub Papua
Pentingnya Komunikasi Efektif Lintas Elemen Untuk Bangun Maluku Barat Daya

Berita Terkait

Sabtu, 20 September 2025 - 10:11 WITA

Dewan Gereja Papua Adalah Rumah, Honai, Perahu Milik Bangsa Papua dan Tidak Dipengaruhi Dengan Pilgub Papua

Rabu, 22 Januari 2025 - 22:23 WITA

Pentingnya Komunikasi Efektif Lintas Elemen Untuk Bangun Maluku Barat Daya

BERITA LAINNYA