Di ruang publik kita hari-hari ini, sering muncul fenomena yang sulit dipahami masyarakat awam. Berbagai kejadian yang seolah-olah lahir secara spontan ternyata tak bisa dilepaskan dari pertarungan simbolis antara kebaikan dan keburukan. Namun, yang lebih berbahaya adalah ketika keburukan itu menyamar dalam wajah kebaikan, dibungkus dalam perilaku “hipokrit” di birokrasi maupun korporasi. Kaum hipokrit menjadikan masyarakat sebagai alat—bukan tujuan—demi melanggengkan kekuasaan dan kepentingan.
Aspirasi yang Dikaburkan
Kita bisa melihatnya dalam dinamika penyampaian pendapat di muka umum. Mahasiswa dan buruh, sebagai bagian dari denyut nadi rakyat, kerap tampil menyuarakan keresahan. Mereka ingin menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan negara, bahwa kebijakan publik kerap berpihak pada segelintir orang, bukan pada kepentingan umum.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, di saat yang sama, kaum hipokrit dengan lihai menunggangi aksi itu. Mereka menyusupkan narasi kebencian, memicu tindakan anarkis, dan mengubah wajah perjuangan yang murni menjadi sesuatu yang tampak kacau. Strategi ini membuat gerakan pro-rakyat kehilangan legitimasi, seakan-akan aspirasi itu hanyalah luapan emosi, bukan kritik yang rasional. Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, masyarakat akan terjebak dalam kepanikan sosial dan kebingungan struktural. Pada akhirnya, benturan horizontal maupun vertikal akan sulit dihindari.
Hipokrit: Wajah Munafik yang Berbahaya
Hipokrit adalah wujud kemunafikan. Ia hadir dalam sosok yang di depan publik menampilkan citra moral, nilai, dan komitmen luhur, tetapi di balik layar bertindak sebaliknya. Kemunafikan lahir bukan hanya dari keinginan tampil baik, melainkan juga dari ketakutan untuk bertanggung jawab dan keberanian mengambil jalan pintas demi keuntungan pribadi.
Sejarah kita penuh dengan contoh betapa berbahayanya kaum hipokrit. Dalam banyak episode, mereka tampil sebagai penengah atau pemimpin moral, padahal sejatinya menyalakan api konflik. Di Papua, misalnya, suara rakyat kerap teredam oleh mereka yang berbicara seolah demi kesejahteraan, tetapi tindakannya justru mengekalkan ketidakadilan struktural. Dalam bahasa sederhana, mereka menjanjikan emas, tetapi yang diberikan hanyalah pasir.
Melawan dengan Otak, Bukan Otot
Menyadari bahaya kaum hipokrit, kita memerlukan cara pandang baru. Perlawanan terhadap ketidakadilan tidak boleh dilakukan dengan kekerasan yang justru memberi ruang bagi kaum hipokrit untuk memperkuat stigma. Sebaliknya, perjuangan itu harus dilakukan dengan otak yang jernih, dengan nalar yang tajam, dan dengan budaya santun sebagai penopang peradaban.
Santun bukan berarti lemah. Ia adalah cara cerdas untuk menjaga marwah perjuangan. Budaya kritik yang sehat harus menjadi neraca kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, aspirasi rakyat tidak mudah diputarbalikkan oleh mereka yang hidup dari kepura-puraan.
Menjaga Ruang Publik dari Kemunafikan
Bahaya kaum hipokrit bukan sekadar soal individu, melainkan ancaman sistemik. Jika ruang publik terus dibiarkan dipenuhi oleh wajah-wajah munafik, bangsa ini akan kehilangan arah moral. Di titik itulah, masyarakat bukan hanya kehilangan kepercayaan kepada pemimpin, melainkan juga kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri.
Karena itu, kesadaran publik harus diperkuat. Kaum hipokrit harus diungkap, bukan ditoleransi. Kita tidak boleh lagi terjebak dalam metafora kosong yang menyamarkan kebenaran. Sudah saatnya kita merawat ruang publik dengan keberanian moral, bukan kepura-puraan.
Jayapura, 5 September 2026
By. Si Hitam Manis Pelipur Lara di bagian Timur Nusantara, mengutuk untuk renungi bersama.
Eksplorasi konten lain dari mediatimor.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.